Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57)
yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang.
Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik
dan turun
dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang
berbeda-beda
dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau
pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam
(Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula
koperasi
yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang
konsumsi dan
dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan
barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan
koperasi
dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada
kecenderungan
menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki
beberapa
jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil
langkah-langkah
kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih
dulu,
seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi
bersama-sama
dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan
penyediaan
barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan
simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).
Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di
Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.
Untuk
memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping
banyak
menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid
yang
dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau
mengetahui
bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah
dikembalikan
secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R
Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van
Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika
ia cuti ke
Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen
(koperasi
simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam
untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari
cuti
melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah
dirintis
oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam
yang dapat
berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal
untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya
Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan
berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian
pula Sarikat
Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi
yang
bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko
koperasi.
Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di
Indonesia
yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan
Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia
Belanda
ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu
penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam
hubungan ini
pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain
:
a. Akte
pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte
pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus
mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di
samping itu diperlukan biaya meterai f 50.
Pada akhir
Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang
mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang
beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager
adalah K.H.
Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji
Manshur.
Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana
branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5
anggota.
Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode
“nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan
akan
diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai
ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no
431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi.
Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat
dipandang
sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di
Indonesia,
yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada
tahun 1920
dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang
diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi.
Menurut Robert l heiboner ada 3 cara bagi
masyarakat untuk memecahkan masalah ekonomi yang mereka hadapi yaitu cara :
1.
Mengorgnisir masyarakat menurut tradisi
2.
Mengorganisir masyarakat dengan komando
3.
Mengoganisir mjasyarakat menurut pasar
Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan
proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai
langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres
ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya
koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan
agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan
Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan
mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya
koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini
menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang
sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain
juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut
“established for last”.
Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan
proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai
langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres
ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya
koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan
agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan
Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan
mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya
koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini
menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang
sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain
juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut
“established for last”.
Sumber referensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar